Hai mas mbak dan semuanya sekalian. kali ini bukan review, cuma mau upload tugas bahasa indonesia. cekidot. :p
Mainan
yang Menyeramkan di Malam yang Dingin
Hari itu, hari
yang indah bersama kawan ujian tapak suci. Hari yang terlalu indah untuk
bertamasya keluar sekolah. Hari yang indah untuk menginap di tempat nan jauh
disana. Hingga sekarang, tempat itu masih menjadi tempat yang unik karena jujur
saja aku tak tahu alamatnya. Hanya ingatan visual akan tempat itu. Lapangannya,
aulanya, lapangan indoor, masjid, ada tk disebelahnya, bahkan hingga
kamarmandinya kan selalu ku ingat. Di tempat itulah dua hari satu malam
kuhabiskan bersama teman teman dari sekolah lain yang hampir seluruh dari
mereka tak satupun ku kenal. Namun, aku tak sendiri, aku bersama teman teman
satu angkatan yang mengikuti ujian tapak suci. Mereka juga belum akrab dengan
ku. Hanya satu teman yang sangat akrab. Itu pun semata-mata karena ia satu
kelas dengan ku.
Seminggu
sebelum itu, aku menjalani ujian materi. Ujian yang dengan susah payah aku
jalani, bukan karena materi yang tak mudah, tapi karena kekurangan ku dalam
menguasai materi yang berat itu sedangkan aku bertubuh gemuk yang tak mudah
lentur seperti teman teman yang lebih kurus lainnya. Sebenarnya tak terlalu
gendut untuk dibilang gendut, hanya saja aku berisi. Juga didukung dengan
kelangkaan ku dalam daftar absen, ya, aku memang jarang masuk. Jangan bertanya
kenapa karena jujur saja aku malas menjalaninya, semata mata karena ada teman
perempuan yang menurutku cantik. Sayang seribu sayang, ia tidak ikut ujian ini.
Membuat ku tak semangat menjalaninya. bukan hal itu yang menarik, bukan juga
tentang ujian materi yang tidak ku kuasai.
Setelah lolos
ujian yang membuatku semakin tidak semangat menjalaninya, ada ujian di lapangan
atau yang kusebut ujian yang sangat sulit. Bukan karena materi yang tidak
kukuasai, tapi karena aku baru sekali menjalani ujian ini, bukan karena ketidak
hadiran ku dalam ujian sebelumnya, tapi karena tahun lalu yang seharus nya
diadakan ujian kenaikan tingkat, dibatalkan secara sepihak oleh gempa yang
mengguncang Jogja. Tapi, hal itu tak mematahkan semangat ku. Aku dan teman
teman ku berangkat dari sekolah, setelah pembekalan tentunya. Karena pada
pembekalan aku tak berangkat, aku tidak dapat kelompok sendiri. Kelompok memang
tidak terlalu perlu, tapi, aku tidak kebagian jatah untuk memakai tikar yang
tidak ku persiapkan sebelumnya. Hal itu membuatku tidak memiliki pilihan untuk
mengikuti tahap kedua ini, karena sudah separuh perjalanan, tidak asyik kan
jikalau akhirnya mundur. Berbekal rasa cemas tidak mendapat tikar, aku menuju
tempat pemberangkatan. Di halaman sekolah. Disana aku mendapat janji jatah
tikar karena memang temanku yang mendapat jatah membawa tikar. Toh tambah satu
anggota untuk memakainya kan tidak mengganggu. Lunas sudah urusan tikar. Dengan
bus yang sesak pun kami berangkat. Aku dan teman ku duduk di bangku paling
depan, tapi hal itu tidak menjamin jika aku mengetahui jalan yang kulalui. Sama
sekali tidak tahu. Perjalanan yang hanya ku habiskan melongo memikirkan apa
yang terjadi setelah kami sampai. Pertanyaan itu menambah sesak bus yang
sebenarnya tidak nyaman itu. Ditambah lagi dengan teriknya sinar matahari yang
tepat diatas kepala. Belum tuntas pertanyaan itu menyerbu pikiran ku, tiba tiba
bus berhaenti beriritan, tanda aku sudah sampai di camp. Begitu sampai,
pertanyaan yang tadi sempat menggunung pun meledak ledak. Hilang entah kemana.
Tinggal kesibukan orang orang yang ada disekitarku hendak mencari tempat aman
untuk meletakkan barang-barang. Aku yang saat itu hanya punya handphone tak
khawatir akan harta benda ku yang ku bawa. Aku mencari teman yang menjanjikan
tikar itu. Aku meletakkan tas ku didekat tas teman dari satu sekolah.
“Bro ini tikarmu kan?” tanyaku
sedikit mengintimidasi.
“iya” kata temanku mengiyakan saja.
“oke makasih” kataku sambil meletakkan tas.
“iya” kata temanku mengiyakan saja.
“oke makasih” kataku sambil meletakkan tas.
Disinilah hal
yang menyenangkan dimulai, bertemu dengan orang lain yang banyak, berkumpul di
lapangan untuk mendengarkan entah apa yang dikatakan oleh ketua pelatih tapak suci
yang ada di Jogja. Pria setengah baya yang berdiri didepan memimpin upacara
pembukaan. Tentu saja beliau mengucapkan selamat datang. Setelah upacara yang
membosankan itu kami pun istirahat sholat dan juga makan. Setelah itu kami
mandi untuk persiapan acara di malam hari. Kamar mandi yang terbatas itu
diserbu ber ratus-ratus orang. Alhasil bukan air yang didapat untuk membasuh
badan, hanya keringat yang mengalir tak henti henti karena kami jelas
“keroyokan” memperebutkan kamar mandi. Niat untuk mandi pun sudah hilang. Aku
memutuskan untuk tidak mandi karena terlalu lama menunggu. Akhirnya aku
bersantai didalam camp yang sebenarnya adalah lapangan indoor yang biasanya
digunakan untuk tenis. Lapangan ini memiliki banyak lampu neon berukuran besar.
Setelah itu peluit tanda mulai acara pada malam hari sudah dikumandangkan,
setelah sholat isya, kami berkumpul dilapangan yang tadi digunakan untuk
mendengarkan upacara pembukaan. Ternyata kami mendapatkan tempat paling pojok
untuk berbaris. Kami pikir di paling kanan itu mengasyikkan karena dapat udara
langsung dari padang rerumputan yang gelap itu. Disana aku mendapatkan
pengalaman pertama tentang ditakut takuti oleh pendidikan mental. disaat itu
aku sangat terharu. Tak mampu berkata lain selain ingin segera meminta maaf
pada orangtua atas dosa yang telah kuperbuat. Disuasana yang sedang haru
tersebut, panitia ujian ini memberitahu acara selanjutnya yaitu jurit malam. Di
tempat yang paling kanan, rumor tentang jurit malam telah menyeruak. Hal yang
menurut mereka menyeramkan. Aku pun tahu akan hal itu. Tapi semangat ingin tahu
dan juga semangat teman temanku yang membara mengusir semua ketakutan itu jauh
jauh karena saat itu masih suasana setelah sholat isya. Ternyata jurit malam
itu dilakukan urut dari barisan paling kiri. Apa? Barisan paling kiri? Ya, kami
belum menyadari abhwa itu sekaligus menyatakan bahwa kami akan menjadi kelompok
terakhir hingga bosan sudah melanda ketika aku menunggu berjam-jam. Waktu terus
berlalu disana. Bosan dan rasa kantuk semakn menyerang. Ada yang sudah tidur
karena tidak mampu menahan godaan dari angin sepoi-sepoi. “apa apaan ini, udah
malem banget. Ngantuk tau. Ga punya perasaan banget sih ditaruh diujung.” Kata
seorang teman yang sedang naik pitam karena bosan. Waktu di jam yang tetap
berdetak dimalam itu pun menunjukkan hampir tengah malam. Kelompok yang sudah
berangkat pun semakin banyak. Diiringi kelompok yang sudah berdatangan dan
mempersiapkan diri untuk kemudian tidur. Aku sangat iri pada mereka. Hingga
tersisa beberapa kelompok saja yang belum mendapat giliran. Rasa iri menjadi
rasa cemas karena jujur saja sudah mulai mendekati tengah malam. Begitu jiga
menjadi kelompok terakhir yang mendapat giliran. Hingga nama kelompok kami
diundang, rasa cemas terus mengalir di seluruh aliran darah. Namun rasa cemas
langsung hilang sesaat setelah kami mendapat pembekalan untuk melakukan jurit
malam.
Bukan rasa
senang yang datang menggantikan. Sayangnya, hanya rasa takut. Jalan didepan
sangat gelap. Padahal senter yang kami bawa tak melebihi nyala sebah lilin di
daerah yang sangat gelap. Hampir tak bercahaya. “aku takut nih”, suara yang
terdengar dari gumamana dari hampir seluruh anggota kelompok. Kami memulai
perjalanan ini dengan kisah menyeramkan. Kami berjalan menjauhi pos pembekalan.
Dengan darah memusat di mata yang kesulitan melihat di gelap, kami berjalan
mendekat lampu penerang jalan yang sebenarnya itu merupakan tempat dimana
ketakutan kami memuncak. Kami melihat sesosok bayangan yang tak dapat kami
lihat wajahnya karena terhalang lampu penerang jalan yang sangat terang di
kawasan itu. Ia membawa sesuatu benda dibelakang punggungnya. Benda itu pun
sama sama tak terlihat lantaran sinar lampu tepat berada diatas orang dan benda
dibalik punggungnya. Rasa takut merajalela, sayng sekali, ketakutan itu tidak
saja dialami oleh ku yang memang penakut, tapi juga dirasakan oeh seluruh
kelompokku. Kami tanpa aba aba ytang jelas secara bersamaan berlari menjauhi
lampu jalan itu dan menuju guru pembimbing di pos satu yang tak lain adalah pos
pembekalan. Kamii lari terbirit birit bagaikan sebuah rusa yang dikejar seekor
singa. Guru yang ada pun keheranan melihat kami. Mereka memarahi kami karena
kami sangat penakut dan tidak mimiliki keberanian.
“Kalian kenapa?
Ada apa sih?”, kata guru memarahi kami. “anu pak, ada preman.” Jawaban entah
dari mana keluar sendiri. “jam segini ada preman? Gak mngkin lah. Kalian kan
juga tapak suci, ngapain takut?”. Jawab guru itu mengusir kami.
Akhirnya dengan
rasa takut bercampur kesedihan karena dikatakan penakut kami berjalan menjauhi
pos pembekalan. Itu juga berarti kami berjalan mendekati tiang tadi. Tiang ber
orang yang tak bermuka dan membawa benda mencurigakan. Ternyata setelah orang
menyeramkan itu berjalan menjauhi lampu, mukanya perlahan lahan terlihat. Benda
mencurigakan itupun juga terlihat wujud aslinya. Ternyata sosok yang membuat
sepuluh orang itu lari terbirit birit hanyalah seorang penjual mainan yang
menggendong mainan dibelakang punggungnya yang berjalan menunduk karena terlalu
berat membawa mainan yang sangat banyak itu. Mainan yang justru membuat kami
takut. Setelah melihat sosok asli orang tadi, jujur saja rasa takut menghilang
untuk sesaat. Hingga kami berbelok sesuai petunjuk pos pembekalan, kami
berjalan terus didalam gelap ditemani sinar senter yang benar-benar seadanya.
Kami melewati mobil yang terparkir ditinggal tidur pemiliknya didalam rumah,
namun dikaca itu terlihat sosok menyeramkan yang ternyata hanya wajah kami yang
dilihat dengan mata yang mengantuk. Kami juga berpapasan dengan truk yang sama
nasibnya seperti mobil tadi. Kami takut karena sepertinya truk itu memuat
barang yang menyeramkan, ternyata hanya kosong.
Setelah jalan
yang gelap kami lalui, sampailah di pos kedua, pos yang menguji kemampuan
menghapal surat pendek karena seluruh dari kami yang mengikuti kenaikan tingkat
beragama islam. Pos kedua kami lalui dengan mudah karena rata-rata dari kami
sudah banyak menghapal surat pendek. Kemudian kami melanjutkan perjalanan yang
tidak begitu gelap di pos tiga. Kami melihan ada kuburan didekat pos ke tiga.
Kami sudah ketakutan karena menebak akan dimasukkan kedalam kuburan. Ternyata
kami hanya disuruh mencari jangkrik. Karena waktu sudah mepet, dan juga
diiringi rasa takut tentang kuburan, kami mencari jangkrik tidak dengan
jongkok. Bodohnya, kami justru malah berdiri, kami pun dimarahi karena tidak
sesuai keadaan. Kami menutup pos ketiga dengan rasa sangat malu.
Kami
melanjutkan perjalanan ke pos terakhir yaitu pos ke empat. Ternyata bukan tugas
yang kami dapatkan. Tetapi hanya kata yang sebenarnya mendidik, namun hal itu
tak merubah ketakutan kami menjadi sebuah perasaan yang lebih normal untuk
dirasakan. Suasana justru semakin mencekam ketika kami harus berjalan melewati
tempat gelap yang nyaris bagaikan jalan yang tak berujung. Kami melewati lapangan bola yang gelap sambil
jalan cepat karena sudah mengantuk. Aku diposisi terakhir, aku mencoba menyusul
namun aku menginjak sesuatu yang sangat lunak, seperti balon yang berisi air,
namun aku tak berani untuk mengeceknya karena sudah terpikirkan hal yang tidak
tidak. Kaki bagaikan ingin berlari sendiri, tubuh yang lelah ingin segera
mengakhiri semuanya, jantung berdetak lebih cepaat mendahului langkah lari
kakiku. Aku berlari lebih cepat dari sebelum menginjak benda itu. Aku jauh
meninggalkan teman teman ku. Akhirnya kami sampai. Habislah sudah seluruh nyawa
ku. Habislah sudah perjalanan yang mencekam. Kami menutup mata dengan terbayang
bayang apa yang kami lalui semalaman.
Dipagi yang
dingin nan menccekam itu kami masih tetap tak melupakan hal yang seharausnya
dimiliki hampir seluruh anak dikolong bumi ini, namun, hal yang lazim mengisi otak anak seusia kami
mengubah kami menjadi sekelompok rusa yang berlarian dikejar singa yang sedang
kelaparan. Ya, begitu juga penjual mainan yang setiap hari mengisi waktu
istirahat jam sekolah kami yang sesaat berubah menjadi badut yang mengintai
anak-anak dimalam hari.